Menurut para ahli, anak dilahirkan bukanlah
sebagai makhluk yang religious, namun anak yang lahir lebih mirip sebagai
binatang dan malah dikatakan jika anak seekor kera itu lebih manusiawi
dibanding anak manusia[1].
Namun, sebagaimana yang diketahui bahwa seorang anak yang dilahirkan itu sudah
dalam keadaan yang fitrah keagamaan.
Ernest Harmas mengemukakan pendapat dalam
bukunya “The Developmental of Religious on Children” bahwa perkembangan
seorang anak melalui tiga tingkatan:[2]
1.
The Fairy Tale of Stage (Kisah Dongeng)
Pada tingkatan ini berusi 3-5 tahun,
konsep ketuhanan anak lebih banyak berasal dari fantasi dan emosi. Kehidupan
masa ini masih banyak dipengaruhi oleh kehidupan fantasi sehingga seorang anak
kerap menanggapi agama dengan konsep fantasi berupa dongeng yang kurang masuk
akal.
2.
The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkatan ini dimulai ketika berusia 7-22
tahun. Pada masa ini konsep ketuhanannya sudah mulai mencerminkan konsep yang
berdasarkan pada kenyataan. Pada masa ini seseorang sudah mulai mendapatkan
konsep dari berbagi arah, diantaranya lembaga pengajaran dan juga ide atas
keagamaan didasarkan oleh emosionalnya. Berdasarkan hal itu, makan anak pada
masa ini mulai tertarik dan senang dengan kegiatan keagamaan di lingkungannya.
3.
The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkatan ini seorang anak telah
memiliki kepekaan emosi sejalan dengan perkembangan usianya. Adapun konsep dari
keagamaan yang individualistik terbagi pada tiga golongan, yaitu: [3]
a.
Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan koservatif
dengan dipengaruhi sebagian kecil dari fantasi. Hal ini disebabkan pengaruh
dari luar.
b.
Konsep ke-Tuhanan yang murni dengan dinyatakan oleh
pandangan personal.
c.
Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Perubahan
ini dipengaruhi oleh factor intern yaitu usia dan factor ekstern berupa
pengaruh dari luar.
Memahami konsep keagamaan dari anak
berarti memahami sifat agama pada anak. Ide keagamaan seorang anak hampir
keseluruhan dari luar “Ideas concept on authority”. Hal tersebut dapat
dengan mudah dimengerti karena anak usia muda telah melihat berbagai kegiatan
dari luar dan mempelajari hal-hal yang mereka lihat. Berdsarkan hal tersebut
maka bentuk dan sifat keagamaan pada diri anak dapat dibagi atas: [4]
1)
Unreflective (Kurang mendalam/tanpa kritik)
Biasanya seorang anak mendapatkan asumsi dari luar
yang biasanya langsung diterima tanpa adanya kritikan. Ajaran agama yang mereka
dapatkan dapat diterima tanpa kritik. Meskipun demikian pada beberapa anak
banyak yang memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pemikiran yang diterimanya
(kritis).
2)
Egosentris
Anak memiliki kesadaran diri sejak tahun pertama
pertumbhannya dan berkembang sejalan dengan bertambahnya pengalaman. Ketika
kesadaran diri pada anak mulai subur, maka timbullah keraguan pada egonya.
Semakin bertumbuh maka semakin meningkat egoismenya.
3)
Anthomorphis
Konsep ketuhanan seorang anak berasal dari pengalaman
yang didapatkan oleh interaksi dengan orang lain. Melalui konsep yang terbentuk
dalam pikiran mereka menganggap bahwa Tuhan itu sama dengan manusia, pekerjaan
Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat.
4)
Verbalis
dan Ritualis
Pada kenyataannya, kehidupan atas keagamaan seorang
anak tumbuh bermula dari sebuah verbal (ucapan). Mereka cenderung menghafalkan
kalimat-kalimat yang didapatkan .
5)
Imitatif
Konsep keagamaan yang dilakukan anak pada dasarnya
pula diperoleh dari kegiatan meniru. Misalnya berdoa dan shalat mereka
laksanakan karena hasil dari melihat terlebih dahulu.
6)
Rasa Heran
Hal ini merupakan dorongan untuk anak mengenai sesuatu
yang baru (new experience).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar